Di saat sedih atau terpuruk pasti kita ingin perasaan kita divalidasi atau cukup didengarkan seluruhnya. Wajar ketika di masa seperti itu kita merasa ingin diperhatikan dan membutuhkan atensi yang lebih. Namun, bagaimana jika keadaan kita diputarbalikkan dengan respon sederhana seperti “Seharusnya kamu lebih bersyukur lagi” atau “ yaelah begitu masih mending, dulu aku pernah lebih parah…” dan lainnya. Mungkin lawan bicara kita hanya ingin memberi dukungan bahwa kita tidak sendirian atau masalah dan kesedihan kita pasti akan berlalu. Bukankah itu terdengar baik? Tetapi mengapa kenyataannya justru memperparah rasa sedihmu? Atau mungkin, pernahkan kamu melakukan hal yang sama terhadap orang lain yang sedang bercerita kepadamu? Berhati-hatilah karena bisa jadi fenomena tersebut adalah toxic positivity, lho!
Toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif di situasi apapun. Toxic positivity dikatakan coping mechanism yang buruk karena berkaitan dengan perilaku denial dan repression di mana seseorang menolak atau menekan emosi negatif yang sebenarnya merupakan bagian dari perasaan manusia normal. Individu yang cenderung menerima pengalaman mental mereka dapat mencapai kesejahteraan psikologis yang lebih besar karena penerimaan membantu mereka merasakan lebih sedikit emosi negatif dalam menghadapi stres (Ford et al., 2018).
Toxic positivity umumnya muncul lewat ucapan. Bahkan ucapan-ucapan ini sering tidak disadari oleh orang yang melontarkannya karena terkesan positif namun saat mengatakannya merasa ada emosi negatif di dalamnya.
Maka dari itu yuk kenali ciri-ciri toxic positivity!
- Hal yang dikatakan bukanlah perasaan yang sebenarnya dirasakan. Karena takut hal yang dikatakan dapat memunculkan masalah , sehingga memilih untuk menghindari suatu masalah tersebut.
- Merasa bersalah ketika merasakan atau mengungkapkan emosi negatif.
- Mencoba memberikan semangat kepada orang lain, tetapi sering disertai dengan pernyataan yang seolah meremehkan, misalnya mengucapkan kalimat “jangan menyerah, begitu saja kok tidak bisa”
- Sering melontarkan kalimat yang membandingkan dirinya dengan orang lain seolah-olah dirinya yang paling tersakiti atau hebat.
- Melontarkan kalimat yang menyalahkan orang yang tertimpa masalah.
Jadi, melihat suatu hal dengan positif memang baik, tetapi jika dilakukan demi menghindari emosi negatif, hal ini justru dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental, lho.
Lantas, apa saja sih yang harus kita lakukan demi menghindari toxic positivity ini? Yuk, simak tips dari kita!
- Menerima bahwa kita memiliki berbagai macam emosi
Manusia merupakan makhluk yang komplek dari segi perilaku, pikiran, bahkan perasaan. Kita tidak dapat menyederhanakan emosi kita untuk menjadi emosi positif terus-menerus. Dengan belajar memahami karakteristik emosi kita, kita akan belajar menerima berbagai emosi yang kita rasakan dengan sehat.
- Eksplorasi emosi dan perasaanmu
Mengimplementasikan berbagai strategi untuk mengenal setiap emosi yang kita rasakan. Setelah itu, belajarlah cara menghadapinya. Ketika terdapat sesuatu yang menjengkelkan bagimu, lalu kamu merasakan suhu tubuh meningkat, jantung berdegup kencang, dan wajah memerah. Kenalilah bahwa kamu sedang marah dan kamu boleh mengekspresikannya. Tidak lupa juga untuk selalu mengendalikan emosimu
- Menjadi realistis
“Its okay to not be okay” begitulah kutipan yang sering dilontarkan oleh banyak orang. Menjadi realistis artinya menerima bahwa terkadang masalah datang dan hidup berjalan tak semulus kehidupan dongeng. Karena itu, menerima dan menghadapi permasalahan merupakan cara yang lebih baik daripada membohongi diri dengan toxic positivity.
- Belajar mengidentifikasi toxic positivity
Bagaimana sih membedakan semangat positif yang baik dengan toxic positivity? Positivity yang baik adalah semangat optimisme bahwa persoalan yang kita alami akan ada solusinya. Sebaliknya, ketika seseorang memaksakan positivity di kala ia merasa buntu, semangat untuk positif justru akan menyerang kesehatan mentalnya karena mengabaikan perasaan negatif yang dialami. Jadi, dalam menghadapi persoalanmu atau persoalan orang lain, kita harus memahami terlebih dahulu bagaimana kondisi permasalahannya dan apa yang dibutuhkan pada saat itu.