Kesehatan bukan hanya menyangkut kondisi fisik melainkan juga kondisi jiwa. Kesehatan jiwa merupakan bagian integral tiap individu. Kesehatan jiwa yang baik yakni saat berada dalam keadaan tenteram dan tenang (covid.go.id, 2020). Wabah penyakit Covid-19 tidak hanya menyerang fisik seseorang, namun menyerang kesehatan jiwa seseorang juga. Akan banyak gejolak emosi dan perasaan yang muncul ketika seseorang terpapar virus Covid-19. Berikut fase atau perjalanan reaksi ketika seseorang dinyatakan positif Covid-19 .
Fase Pertama
Fase pertama sesuai dari kutipan Maulana (2020), Aulia Iskandarsyah, M.Psi., M.Sc., PhD, dosen Psikologi Universitas Padjadjaran, adalah fase dimana seseorang masih menyangkal bahwa dirinya terpapar Covid-19. Penyangkalan tersebut selanjutnya melahirkan respons diri berupa marah atau sedih. Sikap ini merupakan fase di mana kondisi mental seseorang mulai terganggu. Penurunan mental akan melahirkan sikap sedih, stres, hingga menutup diri. Selain itu menurut Psikolog Lucia Peppy, kualitas emosi negatif yang dirasakan seseorang yang terpapar Covid-19 dapat dipengaruhi dari beberapa hal yaitu bagaimana seseorang terekspos dengan pemberitaan tentang Covid-19 dan kondisi lingkungan sosial di sekitarnya juga akan berpengaruh terhadap gejolak emosi yang dirasakan (covidsurvivor.id, 2021). Di fase ini seseorang yang terkena Covid-19 juga akan merasa cemas dengan banyak hal seperti berpisah dengan keluarga atau orang terdekat yang menggantungkan hidup dengannya, lalu merasa takut tidak akan sembuh atau merasakan sakit. Namun, tidak semua orang merasakan gejolak psikologis, karena kondisi fisik yang sudah lumayan berat (covidsurvivor.id, 2021).
Fase Kedua
Fase kedua pada perjalanan psikologis para penderita Covid-19 menurut Psikolog Lucia Peppy adalah fase menjalani perawatan. Dalam fase perawatan awal biasanya para pasien Covid-19 akan merasa cemas, terutama untuk pasien yang mengalami gejala, mereka akan merasa cemas mengamati kondisi tubuh dan ada rasa takut dan cemas tidak akan sembuh. Hal ini paling dirasakan ketika pasien dirawat di rumah sakit bersama pejuang Covid-19 lainnya. Setelah berjalannya waktu pasien Covid-19 akan merasa bosan, jenuh, dan penat (covidsurvivor.id, 2021). Hal ini akan dirasakan terutama untuk pasien covid-19 yang tidak merasakan gejala berat karena ia merasa bahwa badannya baik-baik saja namun harus terisolasi dari dunia luar. Selain itu ada beberapa pasien Covid-19 yang merasakan gejolak emosi seperti marah karena belum bisa menerima dirinya terpapar, proses pengobatan yang tak kunjung usai, ataupun marah karena diberi label atau stigma negatif dari orang sekitarnya. Selain emosi, proses berpikir juga bergejolak. Ada pasien yang merasa optimis akan sembuh dan ada juga yang merasa pesimis. Kondisi ini bisa dipicu beberapa faktor yaitu dukungan orang sekitar, kondisi kesehatan fisik, ataupun melihat beberapa orang sekitar yang terkena virus Covid-19. Dalam fase kedua ini beberapa pasien juga akan merasakan perasaan penawaran atau bargaining muncul saat setelah kemarahan mulai pudar, mulai timbul perasaan bersalah diiringi dengan pikiran “kalau saja…” seperti atau “kalau saja saya sadar sebelumnya…” dan sebagainya (Damaledo, Y. D., & Nancy, Y., 2019). Biasanya setelah merasakan hal ini pasien Covid-19 akan menemukan makna dan hikmah dari hal yang menimpanya dan sudah bisa berdamai dengan dirinya sendiri sehingga pelan-pelan dapat menerima penyakit Covid-19 yang ia alami ini.
Fase Ketiga
Fase terakhir adalah fase ketiga. Dikutip dari Maulana (2020), Aulia Iskandarsyah, M.Psi., M.Sc., PhD, dosen Psikologi Universitas Padjadjaran, menyatakan bahwa penyintas mulai menerima dirinya terpapar Covid-19 pada fase tersebut. Penyintas mulai melepaskan beban mental yang pada fase sebelumnya mengganggu pikiran. Menurut sumber tersebut, fase ketiga ini mirip dengan salah satu fase yang dialami penyintas pada fase kedua tadi. Namun, di sisi lain, Psikolog Lucia Peppy menyebut fase ketiga ini sebagai fase pemulihan (covidsurvivor.id, 2021). Penyintas sudah mulai memasuki masa penyembuhan, merasakan lega, syukur, dan mampu memaknai kejadian pada hari-hari sebelumnya (saat masih terpapar). Akan tetapi, penyintas juga masih tetap merasakan kekhawatiran akan penolakan. Hal tersebut senada dengan yang disampaikan Kurniawan dan Susilo (2021), yaitu banyak pasien yang sudah sembuh, tetapi masih tidak diterima oleh lingkungannya.
Berangkat dari fase-fase diatas, tulisan kali ini juga akan menyampaikan beberapa cara yang dapat dilakukan oleh penyintas agar tetap terjaga kondisi psikologisnya. Berdasarkan artikel yang ditulis Indriati (2021) penyintas dapat melakukan tindakan-tindakan terkendali untuk menghadapi kecemasan. Contohnya adalah berolahraga, meditasi, melukis, atau kegiatan lain yang sesuai dengan kegemaran masing-masing. Menurut Indriati, penyintas juga perlu menerima “keterbatasan” yang sedang dialami sebagai bentuk rasionalisasi menghadapi rasa cemas tersebut. Selain itu, penyintas dapat mengurangi asupan berita yang mengganggu kondisi mental, bercerita tentang keluh kesahnya kepada orang yang dipercaya secara daring sehingga merasa lega dan tenang, atau melakukan self talk untuk mendapatkan afirmasi positif dari diri sendiri (prudential.co.id, n.d).
Selain cara-cara di atas, penyintas juga dapat menghubungi call center terkait. Dikutip dari covid.go.id (2020), Kementerian Kesehatan menyediakan saluran telepon dengan hotline 119 pada extension 9 untuk layanan kesehatan jiwa. Penyintas juga dapat berkonsultasi di laman website Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI), yaitu www.pdskji.org. Pada laman website tersebut, terdapat pemeriksaan mandiri mengenai kondisi jiwa. Prosesnya adalah penyintas mengisi beberapa data dan menjawab beberapa pertanyaan terkait. Hasilnya bisa langsung dilihat. Apabila dari hasil tersebut kondisi penyintas dinyatakan mengalami gangguan mental tertentu, penyintas dapat menghubungi psikiater dengan cara direct message di instagram @pdskji_indonesia. Dengan mengirimkan nomor Whatsapp, nama, dan lokasi, penyintas nantinya akan dihubungi oleh psikiater dari PDSKJI untuk didampingi secara daring.
“Mens sana in corpore sano” atau di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Ungkapan tersebut juga berlaku untuk penyintas covid-19. Jadi selain berupaya pulih secara fisik, penyintas perlu terjaga kondisi mentalnya. #staysafe
REFERENSI
covid19.go.id. (2020). Pusat panggilan 119 dan laman resmi PDSKJI kini bisa layani konsultasi kesehatan jiwa. covid.go.id. https://covid19.go.id/p/berita/pusat-panggilan-119-dan-laman-resmi-pdskji-kini-bisa-layani-konsultasi-kesehatan-jiwa
covidsurvivor.id. (2021). Perjalanan psikologis yang biasanya ditemui saat kamu dinyatakan positif covid-19. covidsurvivor.id. https://www.instagram.com/p/CQsqNlvAja-/?utm_medium=copy_link
Indriati, S. (2021). Dahsyatnya stigma bagi kesehatan mental penyintas covid-19. RSJD Surakarta. https://rsjd-surakarta.jatengprov.go.id/2021/07/12/dahsyatnya-stigma-bagi-kesehatan-mental-penyintas-covid-19/
Kurniawan, Y. & Susilo, M.N.I.B. (2021). Bangkit pascainfeksi: dinamika resiliensi pada penyintas covid-19. Philanthropy Journal of Psychology, 5 (1), 131-156. http://dx.doi.org/10.26623/philanthropy.v5i1.3326
Maulana, A. (2020). Penyintas covid-19 bukan aib, dukungan keluarga dan masyarakat diperlukan. unpad.ac.id. https://www.unpad.ac.id/2020/12/penyintas-covid-19-bukan-aib-dukungan-keluarga-dan-masyarakat-diperlukan/
prudential.co.id. (n.d). 8 cara menjaga kesehatan mental selama pandemi COVID-19. prudential.co.id. https://www.prudential.co.id/id/pulse/article/8-cara-menjaga-kesehatan-mental-selama-pandemi-covid-19/
Damaledo, Y. D., & Nancy, Y. (2019 ). Mengenal Lima Tahap dalam Kesedihan, dari Marah hingga Depresi .https://tirto.id/mengenal-lima-tahap-dalam-kesedihan-dari-marah-hingga-depresi-egNX