Kentongan sudah ada sejak awal masehi dan di setiap daerah memiliki sejarah penemuan yang berbeda-beda. Seperti di Nusa Tenggara Barat (NTB), kentongan ditemukan pada masa kekuasaan Raja Anak Agung Gede Ngurah sekitar abad XIX. Sementara itu di Yogyakarta, kentongan (khususnya kentongan Kyai Gorobangsa) banyak digunakan pada masa kerajaan Majapahit. Kentongan dimanfaatkan di banyak aspek kehidupan, seperti pada masyarakat tani, kentongan digunakan sebagai alat mengusir hewan yang merusak tanaman dan padi warga. Di daerah pedalaman, kentongan biasanya terdapat di surau-surau kecil yang digunakan sebagai penanda telah tiba waktunya sholat. Kentongan juga banyak digunakan pada saat bulan Ramadhan untuk membangunkan sahur, juga sebagai alat untuk mengiringi takbiran keliling. Seiring berjalannya waktu, kentongan semakin ramai dipakai di elemen penting masyarakat, seperti terdapat di balai desa, pos ronda, dan dipakai untuk alat ronda patroli keamanan keliling desa (Haryanto dkk, 2022).
Haryanto dkk (2022) juga menyebutkan bahwa pada masa keemasannya, kentongan memiliki peran yang sangat penting sebagai sarana penyampaian pesan secara massal dan tergolong cepat bagi warga. Bahkan, kentongan menjadi media penyampaian informasi utama dalam berbagai hal mulai yang sifatnya komunal maupun personal sebelum akhirnya semakin tergerus kecanggihan teknologi. Kalau di tempatmu, apakah kentongan masih digunakan?
Seiring perkembangan zaman, teknologi yang muncul semakin canggih. Internet dan telepon saat ini mampu mempercepat penyebaran informasi di tengah-tengah masyarakat. Termasuk, penyebaran informasi peringatan dini bencana. Salah satunya, BMKG selalu up to date informasi terkait melalui laman Twitter lembaga tersebut yang dapat diakses pada https://twitter.com/infobmkg.
Namun, kentongan masih menjadi sistem peringatan dini tradisional berbasis kearifan lokal yang tetap dipertahankan penggunaannya oleh masyarakat Indonesia, terutama di Pulau Jawa (Taufiq, 2020). Kentongan tetap efektif memenuhi tujuan dari sistem peringatan dini, yaitu memberikan kesempatan masyarakat secara luas untuk melakukan penyelamatan diri sebelum terjadinya bencana (kebumenkab.go.id dalam Pusat Krisis dan Kesehatan Kementerian Kesehatan, 2016; Taufiq, 2020). Artinya, masyarakat yang tidak memiliki telepon atau akses internet tetap dapat menerima peringatan tersebut. Bahkan, BMKG melakukan launching “Program Siaran Kentongan Tanggap Bencana pada tahun 2019 (Thirafi, 2019). Selain itu, dibandingkan dengan teknologi yang lebih canggih, kentongan lebih sederhana sebagai sebuah media. Kentongan mudah dibuat dan tidak butuh listrik sehingga bila listrik padam sebelum atau saat bencana, kentongan masih bisa digunakan (Sasongko, 2019).
Akibat jenis informasi tidak hanya terdapat satu macam saja, melainkan ada beberapa jenis informasi yang sekiranya akan disampaikan kepada masyarakat, maka terdapat semacam aturan bunyi kentongan untuk setiap pesan yang berbeda. Termasuk, salah satunya, aturan peringatan bencana. Penting bagi semua warga untuk mengetahui makna dari bunyi kentongan yang dipukulkan petugas ronda. Meski makna dari bunyi kentongan bisa berbeda di setiap tempat, namun pola bunyi ini yang biasanya banyak dipakai di beberapa daerah.
-
- Kentongan dipukul 1-1-1 = adanya berita lelayu atau pembunuhan
- Kentongan dipukul 2-2-2 = ada pencuri/menangkap pencuri.
- Kentongan dipukul 3-3-3 = ada kebakaran (bencana alam).
- Kentongan dipukul 4-4-4 = adanya banjir (bencana alam).
- Kentongan dipukul 5-5-5 = adanya maling barang / maling ternak.
- Kentongan dipukul 1-7-1-7-1-7 (satu kali, jeda, tujuh kali berulang, jeda, satu kali, jeda, tujuh kali berulang dst) atau ada juga yang 6 kali berulang hingga 1 kali pukulan terus menerus setiap 1 jam = situasi aman terkendali.
Selain kentongan, terdapat juga beberapa media tradisional yang digunakan untuk peringatan dini bencana. Di Palu, terdapat lesung yang disebut Nonju dan alat musik tabuh yang disebut Gimba (Mallongi, 2019).
Kalau di daerahmu, ada alat tradisional apa yang fungsinya serupa?
Penulis: Ramadhanti Dhea Utami, Yasmine Kirana Khairun Nisa
Editor: Basilia Faras
Daftar Pustaka
Haryanto, T., Suwarsito, S., & Sarjanti, E. (2022). Mitigasi bencana berbasis pelestarian kearifan lokal kentongan. Proceedings Series on Social Sciences & Humanities, 6, 99–104. https://doi.org/10.30595/pssh.v6i.448
Mallongi. (2019, 29 Agustus). Warga Palu sudah lama mengenal alat tradisional penanda bencana. Kumparan. https://kumparan.com/paluposo/warga-palu-sudah-lama-mengenal-alat-tradisional-penanda-bencana-1rlAp5kudIU/full
Octaviani, W. (2022, July 4). Masih ingatkah dengan makna dari bunyi kentongan? Sampaijauh. Retrieved August 12, 2022, from https://sampaijauh.com/makna-bunyi-kentongan-5090#:%7E:text=Kentongan%20dipukul%201%2D1%2D1,adanya%20banjir%20(bencana%20alam)
Pusat Krisis dan Kesehatan Kementerian Kesehatan. (2016, April 22). Apa itu sistem peringatan dini (Early Warning System).Kemenkes. https://pusatkrisis.kemkes.go.id/apa-itu-sistem-peringatan-dini-early-warning-system
Sasongko, A. (2019, Februari 27). Penggunaan kentongan efektif untuk peringatan dini bencana. Republika. https://republika.co.id/berita/pnlebm313/penggunaan-kentongan-efektif-untuk-peringatan-dini-bencana
Taufiq, F.M. (2020, Februari 13). Melirik kembali kentongan sebagai sarana Early Warning Bencana. Kompasiana. https://www.kompasiana.com/masfathan66/5e44af00097f3629e664ee12/melirik-kembali-kentongan-sebagai-sarana-early-warning-bencana?page=2
Thirafi, H. (2019, Agustus 6). Launching program siaran kentongan tanggap bencana di wilayah Kabupaten Biak Numfor. BMKG. https://www.bmkg.go.id/berita/?p=launching-program-siaran-kentongan-tanggap-bencana-di-wilayah-kabupaten-biak-numfor&lang=ID