Does Grief Affect Your Mental Health?

Is it OK to be sad when someone dies? Is it normal not to cry when grieving? Is crying a part of the grieving process? 

 

Banyak orang bertanya-tanya mengenai grief atau duka melalui pencarian di internet. Sebenarnya, duka itu apa, sih? Kenapa banyak orang masih mempertanyakan definisi ataupun bagaimana perasaan berduka yang sewajarnya itu? Apakah berduka dapat memberi dampak pada kesehatan mental kita? Masih banyak pertanyaan yang diajukan meskipun beragam jawaban sudah tersebar di situs pencarian. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, yuk, simak artikel berikut ini!

 

Grief atau berduka adalah suatu kondisi yang sifatnya pribadi atau emosional berupa tanggapan terhadap kehilangan, contohnya kematian (McCabe & Serwint, 2020). Kübler-Ross menyatakan bahwa terdapat beberapa tahap berduka, yaitu denial (menyangkal), anger (kemarahan), bargaining (menawar), depression (depresi), dan acceptance (penerimaan) (Casabianca, 2021). Tidak semua orang mengalami semua tahapan tersebut, beberapa hanya mengalami satu atau dua tahap saja. Teman-teman perlu ingat bahwa kondisi ini normal, ya!

 

Apa yang terjadi ketika seseorang berduka? Ternyata, pada berbagai rentang hidup, berduka memengaruhi seseorang secara berbeda, loh! Yuk, kita kupas penjelasannya sesuai dengan rentang perkembangan manusia!

  • Fase anak-anak

Kematian keluarga adalah kehilangan terberat bagi seorang anak. Banyak hal berubah dalam kehidupan mereka, seperti dukungan dari keluarga ataupun hubungan antar anggota keluarga. Anak-anak yang berduka dapat menunjukkan berbagai emosi yang merupakan hasil dari kehilangan, contohnya adalah menarik diri dari lingkungan, gangguan tidur, atau mimpi buruk.

Anak usia 3–5 tahun yang kehilangan keluarga dapat menunjukkan perilaku penurunan perkembangan, mereka bisa berperilaku seperti anak yang lebih kecil dari usianya. Anak usia sekolahan dapat menunjukkan gejala yang tidak spesifik, seperti sakit kepala, sakit perut, nyeri dada, atau kelelahan. Anak-anak dan remaja dapat juga menunjukkan peningkatan kecemasan (anxiety). Nah, oleh karena itu, perlu adanya dampingan orang dewasa yang stabil agar dapat membantu anak menyikapi kehilangan tersebut (McCabe & Serwint, 2020).

  • Fase remaja

Selain peningkatan kecemasan, remaja yang berduka karena kehilangan orang yang dicintainya seringkali menghadapi masalah harga diri dan identitas mereka. Sebagai wujud kedukaan mereka, biasanya performa sekolah dan aktivitas sesuai usia mereka menjadi terganggu karena kondisi yang memaksa mereka untuk menghadapi masalah dan kehidupan yang tidak mereka persiapkan sebelumnya (American Counseling Association, n.d.).

  • Fase dewasa 

Pada orang dewasa, kehilangan orang terkasih seperti pasangan atau anak menimbulkan berbagai emosi, seperti kesedihan, kesepian, ketidakpercayaan, kemarahan, kecemasan, kekosongan, munculnya perasaan bersalah karena merasa tidak dapat melindungi orang terkasihnya, dan kesedihan atas berubahnya rencana yang telah disusun bersama pasangannya. Kehilangan pasangan pada orang dewasa juga seringkali membuat kondisi sosial mereka berubah akibat berubahnya tanggung jawab dan peran mereka. Mereka juga seringkali mengalami kesulitan keuangan karena kehilangan pekerjaan dan pemasukkan yang mereka dapatkan dari pasangan mereka (American Counseling Association, n.d.).

  • Fase lanjut usia

Pada orang lanjut usia, kedukaan mereka atas kehilangan orang terkasih dapat memengaruhi peran sosial, kemandirian, dan kesehatan mereka. Selain itu, kehilangan juga membuat mereka kekurangan dukungan sosial dan menimbulkan perasaan lebih bergantung pada orang lain (American Counseling Association, n.d.). 

 

Setiap orang dapat memiliki cara berduka yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor situasional, faktor pribadi, dan faktor budaya. Gupta (2022) merincikan faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, faktor situasional dapat berupa cara kehilangan, waktu kehilangan yang tiba-tiba, dan besar kerugian yang dialami. Kedua, faktor pribadi yang mencakup tingkat resiliensi seseorang, kemampuan seseorang untuk mengelola dan mengatur emosi, serta skala dan pentingnya kerugian bagi kehidupan seseorang. Selain itu, dukungan yang didapatkan dari orang-orang di sekitar mereka, seperti teman, anggota keluarga, kolega, dan komunitas dapat memengaruhi bagaimana seseorang berduka. Faktor yang terakhir yaitu faktor budaya yang menyangkut keyakinan budaya dan tradisi. Setiap budaya memiliki aturan, ritual, tradisi, dan perayaan yang berbeda seputar proses berduka sehingga tidak ada yang salah ataupun benar dengan cara berduka seseorang, ya!

 

Walaupun sebagian besar kesedihan atau kedukaan dapat hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Namun, terdapat sebagian kecil orang (sekitar 10%) yang mengalami duka secara terus menerus bahkan lama kelamaan semakin intens dan menimbulkan rasa sakit emosional, serta mengganggu fungsi sehari-hari (Szuhany et al., 2021; Emily, 2023). Kondisi ini dikenal dengan prolonged grief disorder atau gangguan kesedihan berkepanjangan. Szuhany et al. (2021), menuturkan bahwa dalam DSM-5, gangguan kesedihan berkepanjangan dapat didiagnosis setelah 12 bulan berduka secara terus menerus hampir setiap hari pascakedukaan terjadi. Oleh karena itu, penting untuk kita memerhatikan keadaan perasaan kita dan mengenali bagaimana cara untuk mengatasi perasaan duka yang kita rasakan agar tidak sampai pada kondisi gangguan sedih berkepanjangan. Yuk, kita simak beberapa tips yang dapat dilakukan untuk mengatasi kedukaan yang kita rasakan!

 

Menurut Piazza dan Tabasko (2017), terdapat beberapa tips untuk mengurangi kedukaan yang kita rasakan, antara lain:

  1. Biasakan pola hidup sehat, seperti makan makanan sehat, berolahraga rutin, dan tidur yang cukup, serta hindari konsumsi alkohol dan merokok.
  2. Bergabung dengan orang lain atau komunitas yang peduli dan dapat mendukung diri untuk keluar dari kondisi berduka.
  3. Mencari bantuan tenaga profesional seperti psikolog, psikiater, atau dokter untuk membantu mengatasi kesedihan dan sampaikan keluhan yang dirasakan.
  4. Bersabar dan menerima bahwa berduka merupakan hal yang wajar dan memang membutuhkan waktu untuk pulih kembali.

Keberhasilan cara-cara tersebut tergantung pada bagaimana kita beradaptasi dengan realitas yang baru, ketahanan pribadi kita, sistem pendukung yang kita miliki, dan bantuan tenaga profesional (Mughal et al., 2022).

 

Penulis: Yasmine Kirana Khairun N., Kayla Diva Wullur

Editor: Ivana Galuh Paramita

Desain: Intansari Kusumaningtyas

 

Referensi

American Counseling Association. (n.d). Grief reactions over the life span. Fact Sheet.

Casabianca, S. S. (2021, Februari 11). 5 stages of grief after facing a loss. Psych Central. 

Emily. (2023, Januari 1). Grief, prolonged or complicated. ClinicalKey.

Gupta, Sanjana. (2022, Juni 23). Why the grieving process isn’t the same for everyone. Verywellmind. 

McCabe, M. E., & Serwint, J. R. (2020). Loss, separation, and bereavement. Dalam Kliegman et al. (21st ed.),  Nelson textbook of pediatrics

Mughal, S., Azhar, Y., Mahon, M. M., & Siddiqui, W. J. (2022, Mei 2022). Grief Reaction. StatPearls. 

Piazza, G., & Tabasko, B. (2017, Oktober). Coping With Grief. NIH News in Health. 

Szuhany, K. L., Malgaroli, M., Miron, C. D., & Simon, N. M. (2021). Prolonged grief disorder: course, diagnosis, assessment, and treatment. Focus, 19(2), 161–172.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.