Suatu bencana seringkali datang secara tiba-tiba dan terkadang sulit untuk diprediksi. Kemunculan bencana, baik alam maupun non alam, dapat menjadi mimpi buruk dan pengalaman traumatis bagi kaum rentan seperti anak-anak. Kemampuan coping yang rendah dan minimnya pengalaman dalam menghadapi bencana dapat menjadi faktor risiko timbulnya gejala maladaptif dan gangguan mental pada anak-anak yang terekspos trauma bencana.
Tahap perkembangan anak yang bervariasi juga mampu memberikan risiko gangguan mental yang berbeda-beda berdasarkan rentang usianya. Hal tersebut sejalan dengan analisis yang dilakukan oleh Shah et al. (2020) yang menemukan bahwa anak usia dini lebih rentan terdampak oleh bencana dibandingkan anak yang lebih besar. Adapun gejala yang timbul dapat berupa clinginess, kesulitan untuk tidur sendiri, serta perilaku tidak mandiri yang timbul pada balita.
Selain gejala-gejala yang timbul pada balita, ada pula risiko kecemasan, gangguan tidur, perilaku agresif, bahkan risiko PTSD pada kelompok anak yang lebih besar (5–12 tahun). Dalam meninjau pengaruh tahap perkembangan terhadap kesehatan mental anak pascabencana, penting bagi kita untuk memahami berbagai faktor yang dapat memengaruhi respons anak terhadap bencana supaya gejala maladaptif dapat dihindari dan diatasi.
Secara kronologis, faktor yang dapat memengaruhi timbulnya trauma pascabencana dapat dibedakan menjadi tiga kategori (Sayed et al., 2015), yaitu pre-traumatic (usia, gender, SES, pengalaman bencana sebelumnya), peri-traumatic (faktor subjektif seperti persepsi keparahan bencana), dan post-traumatic (coping skills, dukungan sosial, dan kondisi lingkungan). Paparan langsung terhadap bencana merupakan salah satu faktor peri-traumatic yang dapat meningkatkan risiko timbulnya trauma pada anak.
Menyaksikan langsung keparahan suatu bencana, keparahan dampaknya, dan histeria yang timbul dapat meningkatkan risiko trauma pada anak. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian Revet et al. (2021) yang menemukan bahwa peri-traumatic distress menjadi prediktor bagi prolonged-grief disorder pada usia anak sekolah.
Respons anak terhadap bencana juga dipengaruhi oleh faktor pre-traumatic seperti pengalaman menghadapi bencana sebelumnya. Yeon et al. (2020) dalam risetnya menemukan bahwa pengalaman gempa bumi sebelumnya pada anak meningkatkan motivasi mereka untuk belajar persiapan bencana akibat aktivasi emosi yang timbul setelah bencana tersebut muncul kembali.
Karena rentannya anak terhadap faktor risiko terkena gangguan mental akibat bencana alam, penting untuk mengomunikasikan peristiwa bencana alam dengan tepat sebelum maupun sesudah peristiwa itu terjadi kepada anak. Sebelum terjadinya bencana alam, strategi seperti sosialisasi terkait kebencanaan, kegiatan pendidikan kebencanaan, psikoedukasi, serta memberikan panduan untuk orang tua merupakan media yang tepat untuk mengomunikasikan bencana alam kepada anak (Midtbust et al., 2018) Strategi tersebut akan dapat mengurangi faktor risiko anak untuk terkena trauma pasca bencana dan mengembangkan perilaku adaptif apabila mengalami bencana alam.
Ketika terjadi bencana alam dan anak mengalami trauma, penting untuk mengetahui cara mengatasi gangguan stres post-traumatic pada anak-anak. Salah satu caranya yaitu dengan menerapkan terapi perilaku kognitif yang berfokus pada trauma (TF-CBT). Terapi ini terbukti efektif untuk mengurangi dampak buruk yang diterima anak-anak ketika mengalami trauma pasca bencana. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dawson et al. (2018) terhadap gangguan stres post-traumatic pada anak-anak yang terkena dampak konflik sipil di Aceh yang berlangsung dari tahun 1970 hingga tsunami tahun 2004. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terapi perilaku kognitif yang berfokus pada trauma (TF-CBT) dan pendekatan pemecahan masalah efektif dalam mengurangi gangguan stres post-traumatic dan perasaan amarah setelah terkena bencana alam.
Trauma-focused cognitive behavioral therapy (TF-CBT) adalah metode CBT yang didesain untuk mengatasi stres post-traumatic dan gejala-gejala seperti depresi, kecemasan, dan masalah perilaku ringan hingga sedang (Cohen et al., 2017). TF-CBT dinilai tepat diberikan kepada anak-anak dan remaja, juga pengasuhnya, guna menumbuhkan resiliensi mereka pascabencana.
Penelitian lain oleh Santarnecchi et al. (2019) menggunakan intervensi Trauma-focused cognitive behavioral therapy (TF-CBT) untuk membantu korban bencana gempa di Italia tahun 2002 dalam mengatasi gejala akibat paparan pengalaman traumatis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pendekatan TF-CBT terbukti memberikan perubahan epigenetik yang berkorelasi dengan perbaikan gejala klinis dan menghasilkan perbaikan pada pasien dengan PTSD.
Bencana alam dapat memicu trauma yang signifikan pada anak-anak yang merupakan bagian dari golongan rentan. Kemampuan coping yang rendah dan minimnya pengalaman menghadapi bencana meningkatkan risiko gangguan mental. Anak-anak usia dini cenderung menunjukkan clinginess, kesulitan tidur sendiri, dan perilaku tidak mandiri, sementara anak yang lebih besar (5-12 tahun) berisiko mengalami kecemasan, gangguan tidur, perilaku agresif, dan PTSD. Faktor risiko trauma pascabencana seperti persepsi keparahan bencana dan paparan langsung berperan signifikan dalam peningkatan risiko trauma.
Berdasarkan paparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa komunikasi yang tepat dan intervensi psikososial sebelum dan sesudah bencana, seperti sosialisasi kebencanaan dan psikoedukasi, dapat membantu mengurangi risiko trauma. Selain itu, terapi perilaku kognitif yang berfokus pada trauma (TF-CBT) terbukti efektif mengatasi gangguan stres post-traumatic dan meningkatkan kesehatan mental anak pascabencana.
Penulis: Dyan Dhanandjaya Pambudi, Regia Zahra Humaira
Editor: Trixy Theodora Situngkir
Referensi
Dawson, K., Joscelyne, A., Meijer, C., Steel, Z., Silove, D., & Bryant, R. A. (2018). A controlled trial of trauma-focused therapy versus problem-solving in islamic children affected by civil conflict and disaster in Aceh, Indonesia. Australian And New Zealand Journal Of Psychiatry, 52(3), 253–261. https://doi.org/10.1177/0004867417714333
Midtbust, L. G. H., Dyregrov, A., & Djup, H. W. (2018). Communicating with children and adolescents about the risk of natural disasters. European Journal of Psychotraumatology, 9(2), 1429771. https://doi.org/10.1080/20008198.2018.1429771
Santarnecchi, E., Bossini, L., Vatti, G., Fagiolini, A., Porta, P. L., Lorenzo, G. D., Siracusano, A., Rossi, S., & Rossi, A. (2019). Psychological and brain connectivity changes following trauma-focused CBT and EMDR treatment in single-episode PTSD patients. Frontiers In Psychology, 10(2), 1–17. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.00129
Sayed, S., Iacoviello, B., & Charney, D. (2015). Risk factors for the development of psychopathology following trauma. Current Psychiatry Reports, 17(8). https://doi.org/10.1007/s11920-015-0612-y
Shah, A., Ajiang, C., Gong, Z., Khan, N., Ali, M., Ahmad, M., Abbas, A., & Shahid, A. (2022). Reconnoitering school children vulnerability and its determinants: Evidence from flood disaster-hit rural communities of Pakistan. International Journal of Disaster Risk Reduction, 70. https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2021.102735.