Tantangan Relawan Bencana: Apa yang Perlu Diantisipasi dalam Penerjunan?

Saat bencana terjadi, kehadiran relawan memiliki peran krusial dalam merespons situasi darurat tersebut. Kehadiran mereka seringkali menjadi ujung tombak dalam menyalurkan bantuan yang sangat dibutuhkan kepada masyarakat yang terdampak bencana. Namun, di balik tugas mulia yang diemban ini, para relawan menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan. Maka dari itu, memahami serta mengatasi adanya tantangan yang dihadapi oleh relawan itu sangat penting untuk dilakukan. Sehingga, relawan dapat menjalankan apa yang menjadi tugasnya secara efektif dan dengan tetap menjaga kesejahteraan mereka sendiri. 

Sebelum melakukan penerjunan ke lokasi bencana, relawan harus memiliki kesiapan mental dan fisik yang kuat. Bencana seringkali memunculkan situasi yang penuh dengan tekanan, baik secara fisik maupun psikologis. Relawan dihadapkan pada pemandangan yang cukup traumatis di daerah terdampak bencana, seperti adanya korban yang terluka parah, hilangnya nyawa, dan lingkungan pemukiman yang telah hancur menjadi puing-puing. Situasi ini memperbesar kemungkinan relawan untuk mengalami distress. Maka dari itu, menjadi penting bagi organisasi relawan untuk mengambil langkah-langkah dalam mengurangi stres pada anggota mereka (Halimah & Widuri, 2012). Selain itu, kondisi fisik yang prima juga sangat diperlukan karena relawan seringkali harus bekerja dalam kondisi yang ekstrem, seperti cuaca buruk, medan yang sulit, dan kurangnya fasilitas kebutuhan dasar. Ketahanan fisik menjadi salah satu hal yang sangat penting agar mereka mampu bertahan dan juga terus memberikan bantuan secara optimal.

Selain ketahanan mental dan fisik, relawan juga menghadapi tantangan dalam mengelola emosi dan stres. Melihat penderitaan orang lain di lokasi bencana dan berada dalam situasi yang penuh dengan ketidakpastian dapat memicu berbagai emosi, mulai dari empati yang mendalam hingga kelelahan secara emosional. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang mengalami trauma bukan hanya para korban langsung, tetapi juga mereka yang terkena dampak trauma secara tidak langsung (Pickett, 1998). Dengan kata lain, seseorang dapat mengalami trauma tanpa harus berhadapan langsung secara fisik dengan peristiwa traumatik atau menghadapi ancaman bahaya secara langsung. Relawan harus mampu menjaga keseimbangan antara perasaan empati dan objektivitas agar tidak terbebani secara emosional yang dapat menghambat kinerja mereka di lapangan. Oleh karena itu, dukungan psikososial sangat penting untuk membantu relawan mengelola stres dan emosi mereka. Program-program pendampingan, seperti konseling dan sesi refleksi, dapat menjadi sarana penting untuk menjaga kesehatan mental relawan selama dan setelah masa tugas mereka. Dengan manajemen emosi yang baik, relawan dapat menjaga fokus mereka dalam memberikan bantuan dan menjaga kesejahteraan pribadi mereka.

Meskipun memiliki tujuan untuk menolong para penyintas, relawan harus tetap menjaga dan memprioritaskan kesehatan dan keselamatan dirinya. Daerah yang terdampak bencana cenderung berisiko dan berpotensi menyebabkan relawan mengalami kecelakaan atau bahkan kematian akibat kelelahan, dehidrasi, permasalahan kebersihan, dan lain sebagainya (Asmadi, 2014). Relawan yang membantu evakuasi di wilayah bencana sangat berisiko mengalami strain injury, yaitu cedera pada otot sebagai akibat dari mengangkat beban berat yang melebihi kemampuan tubuh (Corwin, 2009, as cited in Asmadi, 2014). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Asmadi (2014), disebutkan bahwa faktor risiko lainnya yang dapat ditemui di wilayah bencana adalah cuaca yang ekstrem, misalnya cuaca yang terlalu panas maupun terlalu dingin. Cuaca ekstrem ini dapat mengakibatkan banyak masalah kesehatan pada relawan, misalnya ruam kemerahan, terbakar sinar matahari, kejang, pingsan, dehidrasi, dan hipotermia.

Tantangan lainnya yang perlu diantisipasi oleh relawan dalam penerjunan berkaitan dengan koordinasi dan komunikasi antara semua pihak yang terlibat dalam upaya penanggulangan bencana. Penelitian yang dilakukan oleh Muktaf & Santoso (2018), koordinasi merupakan hambatan yang paling banyak dirasakan dalam situasi tanggap bencana. Lebih lanjut lagi, Muktaf & Santoso (2018) menjelaskan bahwa koordinasi yang buruk antara lembaga dan instansi yang terjun sebagai relawan maupun yang membantu dari jarak jauh dapat menyebabkan adanya tumpang tindih dalam kegiatan yang dilakukan. Selain itu, koordinasi yang buruk dapat pula menimbulkan konflik kepentingan antar lembaga atau instansi yang terlibat sehingga proses pemberian bantuan kepada para penyintas menjadi kurang efektif.

Nah, dengan banyaknya tantangan yang dihadapi para relawan, yang tentunya memerlukan kesiapan fisik, mental, dan kemampuan adaptasi yang tinggi, penting bagi para relawan dan organisasi yang mendukungnya untuk mempersiapkan diri dengan baik. Dengan persiapan yang memadai, relawan dapat menjalankan tugas mereka dengan lebih efektif sambil menjaga kesehatan dan kesejahteraan pribadi. Menghadapi tantangan ini bukan hanya soal keberhasilan misi, tetapi juga tentang menjaga keselamatan dan kesejahteraan diri para relawan yang dengan tulus mengabdikan diri demi membantu sesama.

 

Penulis: Aulia Nur Zahro & Trixy Theodora Situngkir

Editor: Anindya Chandrawimba

 

Referensi

Asmadi, A. (2014). Perilaku proteksi diri relawan SAR terhadap injury pada tanggap bencana. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana, 5(1), 47-56.

Halimah, S. N., & Widuri, E. L. (2012). Vicarious trauma pada relawan bencana alam. Humanitas, 9(1), 43.

Muktaf, Z. M. & Santoso, B. (2018). Komunikasi koordinasi antar instansi dalam tanggap bencana: Studi kasus penanganan bencana di Yogyakarta. Mediakom, 2(2), 263-274.

Pickett, G.Y. (1998). Therapist in Distress: An Integrative Look at Burnout, Secondary Traumatic Stress and Vicarious Traumatization. Dissertation. University of Missouri-St. Louis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.