Survivors’ Psychological Responses to Disaster

Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Pada umumnya bencana mengakibatkan dampak psikologi bagi penyintas bencana. Sebagian besar orang mengasumsikan bahwa dampak psikologis yang dialami oleh penyintas bencana alam adalah stres yang berat bahkan trauma akibat bencana. Namun, sebenarnya itu adalah reaksi yang wajar dialami oleh penyintas bencana atau bisa disebut reaksi normal pada peristiwa abnormal. Merasa sedih, kehilangan, tertekan, dan depresi merupakan respon alami manusia terhadap bencana dan tidak boleh dilabeli menjadi patologis kecuali terjadi secara berkepanjangan dan mengganggu aktivitas penyintas secara signifikan (Labadee & Bennett, 2012). 

Menurut Labadee & Bennett (2012), terdapat empat jenis respon stres penyintas terhadap bencana, yaitu:

  • Emotional Response

Respon Emosional yang sering  muncul pada penyintas bencana adalah perasaan takut, sedih, tertekan, putus asa, bahkan mati rasa.

  •  Cognitive Response

Secara kognitif, penyintas bencana biasanya juga mengalami kesulitan berkonsentrasi, mudah lupa, kebingungan, kesulitan dalam membuat keputusan, hingga mengalami mimpi buruk.

  • Physical Response

Jika ditinjau secara fisik, penyintas bencana juga cenderung untuk merasakan ketegangan otot, kelelahan, gelisah, nyeri pada tubuh, sakit kepala, detak jantung berdebar, dan hipertensi.

  • Interpersonal Response

Respon interpersonal yang mungkin terjadi biasanya adalah merasa tidak percaya, mudah marah, merasa ditolak, mudah menghakimi, bahkan lepas kontrol.

 

Labadee & Bennett (2012) juga membagi reaksi umum terhadap bencana berdasarkan kelompok usia. Setiap kelompok umum mungkin memiliki pola atau cara yang sama dalam memberikan reaksi atas bencana yang terjadi. Yuk, bahas reaksi masing-masing kelompok usia terhadap bencana!

 

  • Anak-anak

Setelah bencana, anak-anak dapat mengalami gejala kecemasan, drepresi, dan post-traumatic stress disorder (Center for Disease Control and Prevention, n.d.). Menurut Labadee & Bennett (2012), anak-anak biasanya memerlukan perhatian khusus untuk memenuhi kebutuhannya karena terkadang belum memiliki kemampuan verbal dan konseptual untuk menghadapi situasinya secara efektif. Oleh karena itu, diperlukan peran keluarga atau orang tua yang dapat membantu anak menyesuaikan diri. Anak-anak mungkin menunjukkan perilaku yang tidak seperti biasanya. Misalnya, anak menunjukkan perilaku kembali ke masa lalu, seperti mengompol atau mengisap jempol. Center for Disease Control and Prevention (n.d.) menyarankan konsultasi ke profesional psikologis apabila anak merasa emosi tertentu (kesal, marah, sedih, takut, dan cemas) selama lebih dari empat minggu pasca bencana, gejala terus memburuk dari waktu ke waktu, dan memengaruhi anak di lingkungan sekolah atau rumah, termasuk hubungan dengan teman dan keluarga untuk jangka waktu yang lama.

  • Remaja

Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi emosi dan respon remaja terhadap bencana, seperti durasi bencana, kehilangan yang dirasakan, interaksi keluarga, hubungan dengan penyintas atau korban lain, dan dukungan sosial (Institute of Medicine, 2004). Berdasarkan studi Newnham et al. (2020), gangguan secara psikologis kebanyakan disebabkan atau diperburuk oleh paparan trauma dan kehilangan  Pada kelompok usia ini, reaksi teman sebaya berpengaruh cukup signifikan. Remaja perlu memahami bahwa rasa takut yang dia rasakan merupakan sesuatu yang wajar, pantas, dan dimiliki juga oleh orang lain. Remaja lebih mungkin untuk mengambil risiko lebih dari biasanya karena merasa terbebani dengan emosi yang mereka rasakan dan tidak membicarakannya dengan orang lain. Remaja juga mungkin menunjukkan reaksi kombinasi antara reaksi anak-anak bercampur dengan reaksi orang dewasa (Labadee & Bennett, 2012). 

  • Dewasa

American Psychiatric Association (n.d.) menyebutkan beberapa reaksi umum pada orang dewasa pasca bencana, seperti kesulitan tidur, depresi, kesedihan, mudah marah, mati rasa, kurang energi, bingung, isolasi sosial, bahkan penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang. Orang dewasa lebih berfokus pada tuntutan atas pemulihan pasca bencana yang mencakup keluarga, pekerjaan, dan keamanan finansial. Orang dewasa yang kurang mampu menghadapi dan mengekspresikan emosinya mungkin akan muncul reaksi somatik, seperti kecemasan dan depresi. Orang dewasa menghadapi kecemasan mengenai masa depan dan kesedihan karena kehilangan. Selain itu, faktor budaya, gender, dan psikologis, mungkin dapat mengganggu ekspresi emosional dan mencari dukungan dari sosial (Labadee & Bennett, 2012).

  • Lansia

Masalah fisik (penglihatan dan pendengaran) berpengaruh kepada mobilitas lansia sehingga memungkinkan adanya risiko cedera yang lebih tinggi. Berdasarkan Substance Abuse and Mental Health Services Administration (n.d.), beberapa lansia mungkin berisiko lebih besar ketika terjadi bencana, tetapi penelitian menunjukkan bahwa setelah bencana, lansia dapat kembali ke fungsi dan kesejahteraan mereka sebelumnya. Bahkan, masalah kesehatan mental dan penyalahgunaan zat ditemukan lebih sedikit pada lansia dibandingkan orang yang lebih muda. Labadee & Bennett (2012) menyatakan bahwa terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa lansia cenderung tidak mengungsi dan tidak menghiraukan peringatan bahaya. Selain itu, lansia juga berisiko memiliki penyakit kronis yang dapat memburuk karena stres pasca bencana. 

 

Emosi dan reaksi yang muncul akibat bencana adalah respon yang normal dan alami terhadap situasi yang menyebabkan stres. Umumnya bersifat sementara dan tidak berkembang menjadi masalah kronis. Namun, perlu diingat bahwa setiap individu memiliki kecepatan yang berbeda untuk pulih dari emosi pasca bencana.

 

Penulis: Dyan Dhanadjaya Pambudi, Ivana Galuh Paramita

Editor: Ivana Galuh Paramita

Design: Intansari Kusumaningtyas

 

Referensi:

American Psychiatric Association. (n.d.). Coping After Disaster. Psychiatry.org.

Center for Disease Control and Prevention. (n.d.). Helping Your Child Cope with a Disaster. Cdc.gov.

Institute of Medicine. (2004). Preparing for the Psychological Consequences of Terrorism: A Public Health Strategy. Washington, DC: The National Academies Press.

Labadee, B., & Bennett, E. (2012). Recognizing Normal Psychological Reactions to Disasters. In Mental Health and Psychosocial Support in Disaster Situations in the Caribbean: Core Knowledge for Emergency Preparedness and Response

Newnham, E. A., Gao, X., Tearne, J., Guragain, B., Jiao, F., Ghimire, L., Chan, E. Y. Y., & Leaning, J. (2020). Adolescents’ perspectives on the psychological effects of natural disasters in China and Nepal. Transcultural Psychiatry, 57(1), 197–211. DOI: 10.1177/1363461519893135

Substance Abuse and Mental Health Services Administration (SAMHSA). (n.d.). Helping Older Adults After Disasters: A Guide to Providing Support.