Krisis merupakan kondisi berbahaya, genting, dan tidak diharapkan untuk terjadi yang memengaruhi banyak orang. Krisis dapat menimbulkan reaksi fisik, sosial, dan psikologis. Sementara itu, bencana didefinisikan sebagai rangkaian peristiwa akibat faktor alam, non alam, dan manusia yang mengganggu kehidupan manusia. Dari perspektif psikologi, bencana dianggap sebagai gangguan yang dapat menyebabkan adanya disfungsi atau tekanan sehingga membutuhkan bantuan dari pihak eksternal untuk kembali pulih (Vacano dan Zaumseil, 2014).
Bencana dapat dikelola dengan konsep Manajemen Bencana yang bertujuan untuk mengurangi kerugian dan risiko, serta mempercepat proses pemulihan pasca bencana. Manajemen Bencana didefinisikan sebagai upaya dalam rangka pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan yang dilakukan sebelum, saat, dan setelah bencana terjadi. Berikut tahapan dari manajemen bencana:
- Pencegahan dan Mitigasi
Pencegahan dan mitigasi dilakukan ketika tidak terjadi bencana dengan tujuan mengurangi risiko bencana. Bentuk pencegahan dapat berupa pembuatan peta daerah bencana dan mengadakan isyarat-isyarat tanda bahaya. Sementara itu, mitigasi berkaitan dengan pembangunan fisik, serta penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi bencana. Mitigasi dapat dilakukan dengan pelatihan kebencanaan, perbaikan sarana prasarana, dan memasang tanda-tanda bahaya.
- Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan dilakukan ketika muncul potensi terjadinya bencana sebagai bentuk antisipasi. Misalnya dengan sosialisasi peraturan penanggulangan bencana, serta mempersiapkan sarana komunikasi dan evakuasi.
- Anticipatory Action
Anticipatory action adalah intervensi yang dilakukan ketika bencana akan segera terjadi berdasarkan prakiraan, peringatan dini, atau analisis risiko prabencana. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi dampak yang akan ditimbulkan.
- Tanggap Darurat
Tanggap darurat dilakukan ketika dan sesaat setelah terjadinya bencana untuk menangani dampak buruk akibat bencana. Tanggap darurat dapat berupa penyelamat, evakuasi, pengungsian, dan pemenuhan kebutuhan dasar (sandang, pangan, dan papan). Diperlukan juga tanggap darurat psikososial yang diberikan dalam bentuk Psychological First Aid (PFA).
- Rekonstruksi dan Rehabilitasi
Rekonstruksi dan rehabilitasi dilakukan setelah terjadi bencana untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup. Pada tahap ini, mungkin diperlukan peran relawan dalam memberikan pendampingan psikososial berupa trauma healing setelah dilakukan asesmen psikologis untuk mengetahui kebutuhan penyintas.
Respon psikologis ketika terjadi bencana adalah hal yang wajar terjadi (a normal response to an abnormal situation). Relawan psikososial berperan dalam memberikan pendampingan dan Psychological First Aid kepada penyintas yang membutuhkan. Psychological First Aid (PFA) merupakan respons manusiawi dan suportif kepada sesama manusia yang sedang menderita atau memerlukan dukungan. PFA dapat diberikan kepada orang-orang, termasuk anak-anak, remaja, lansia, penyandang disabilitas, dan orang yang berisiko mengalami diskriminsi, yang berada dalam kondisi tertekan atau krisis dan bersedia menerima dukungan. PFA dapat diberikan ketika atau sesegera mungkin setelah peristiwa terjadi. Dalam memberikan PFA, relawan harus memperhatikan dan menghormati hak-hak, harga diri, keamanan, serta budaya penyintas, termasuk bahasa, kepercayaan, gender, dan kontak fisik.
PFA terdiri dari beberapa tahapan, yaitu persiapan, penatalaksanaan, dan pengakhiran. Pertama, persiapan dilakukan dengan mempelajari situasi krisis yang terjadi, termasuk layanan dan dukungan yang telah tersedia di lokasi. Perlu dipertimbangkan juga terkait keamanan lokasi tersebut. Persiapan bertujuan untuk memudahkan dalam memahami situasi krisis sehingga pemberian PFA dapat lebih akurat dan efektif. Kedua, tahap penatalaksanaan yang terdiri dari tiga bentuk, yaitu Look (lihat), Listen (dengar), dan Link (hubungkan). Dalam tahap ini, relawan diharapkan dapat memasuki area krisis dengan aman, memahami dan memberikan bantuan kepada penyintas, serta menghubungkan penyintas dengan bantuan dan informasi yang mereka butuhkan. Terakhir, pengakhiran yang dilakukan secara positif dengan menjelaskan bahwa relawan akan mengakhiri bantuan dan meninggalkan lokasi, serta mengenalkan penyintas dengan relawan baru (apabila ada).