Bencana merupakan keadaan krisis yang datangnya tidak pernah kita duga sebelumnya meskipun terjadi dalam proses yang panjang dan sudah dapat dikenali tanda-tandanya ataupun terjadi secara cepat tanpa ada tanda-tanda. Seperti yang telah kita ketahui, bencana yang terjadi secara langsung memberikan dampak yang besar kepada masyarakat, seperti rusaknya lingkungan fisik dan infrastruktur; dampak biologis dan psikologis, terdapat korban luka dan kematian yang menyebabkan kedukaan; serta dampak sosial seperti tekanan ekonomi akibat hilangnya usaha atau pekerjaan dan kekayaan harta benda (Suwarningsih, 2019).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana melaporkan 2.527 kejadian bencana yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2023 per November. Banyaknya kejadian bencana ini menunjukkan bahwa sudah seharusnya seluruh masyarakat Indonesia memiliki kemampuan siaga bencana, baik dari anak-anak hingga lansia. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, lansia atau lanjut usia merupakan orang-orang yang memasuki usia 60 ke atas, baik pria maupun wanita. Kemudian, lansia dibagi menjadi dua jenis, yaitu lanjut usia potensial (masih mampu melakukan pekerjaan atau menghasilkan barang atau jasa) dan lanjut usia tidak potensial (tidak berdaya mencari nafkah sehingga bergantung dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya).
Seperti yang tercantum dalam UU No. 24 Tahun 2007, lansia merupakan salah satu kelompok rentan yang perlu diberikan perlindungan ketika terjadi bencana dengan cara memberikan prioritas untuk diselamatkan, dievakuasi, serta mendapat pelayanan kesehatan dan psikososial. Hal ini dilakukan karena lansia biasanya kurang memiliki kemampuan mempersiapkan diri dalam menghadapi ancaman bencana dan lebih berisiko tinggi akan merasakan dampak yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya (Siregar dan Wibowo, 2019). Ditambah dengan keterbatasan kondisi fisik yang dialami, seperti penurunan kemampuan penglihatan, pendengaran, mobilitas fisik, dan daya ingat membuat lansia cenderung lebih sulit untuk menyelamatkan diri secara mandiri dengan cepat saat bencana terjadi. Lantas, apa yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak dari kerentanan tersebut?
- Mengadakan sosialisasi terkait bencana kepada para lansia dan keluarga yang mendampingi (Imansyah, 2023). Sosialisasi dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan terkait bencana serta cara evakuasi diri yang dapat dilakukan pada berbagai setting bencana.
- Mengadakan pelatihan simulasi bencana yang dapat diikuti oleh keluarga pendamping sebagai sarana praktik evakuasi diri dan penyelamatan lansia yang memiliki kemungkinan tidak bisa menyelamatkan diri sendiri. Simulasi ini merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan teknis dengan memberikan pengalaman yang mirip dengan kondisi bencana yang sesungguhnya (Virgiani et al., 2022).
- Penyediaan tas siaga bencana yang dapat diisi dengan bahan kebutuhan pokok dan obat-obatan yang diperlukan oleh lansia, tergantung pada kondisi kesehatan masing-masing (Imansyah, 2023). Penyediaan tas siaga bencana ini dapat dibantu oleh keluarga atau orang lain yang memahami kondisi kesehatan lansia sehingga tidak ada kebutuhan penting yang terlewat.
- Pengenalan psychological first aid (PFA), yaitu bentuk pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak psikologis bencana pada penyintas (Fitriyani & Anjaly, 2023). Pengetahuan tentang PFA dapat membantu masyarakat untuk mengurangi stres pada lansia yang terdampak bencana maupun pada diri sendiri.
- Mengadakan sosialisasi kepada para lansia sebagai sarana untuk pengenalan diri dan kerentanan yang dimiliki sehingga dapat meningkatkan kesadaran dan kesiagaan para lansia terhadap risiko yang mungkin mereka hadapi (Imansyah, 2023).
Setelah mengetahui cara-cara di atas, teman-teman bisa mulai menerapkan dengan langkah-langkah kecil, loh! Dengan sering bercerita dan mendengarkan cerita dari kakek atau nenek kita di rumah, kita bisa lebih mengenal mereka dan mengetahui keadaan mereka sehingga kita bisa lebih mudah untuk membantu mereka apabila terjadi bencana. Oiyaa, jangan lupa cek artikel Repsigama yang lain untuk menambah pengetahuan kamu tentang bencana, ya! Sampai jumpa lagi di lain waktu!
Penulis: – Yasmine Kirana Khairun Nisa
– Trixy Theodora Situngkir
Editor: Ivana Galuh Paramita
Desain: Aqila Dea Nisrina
Referensi
Fitriyani, N. & Anjaly, S. M. (2023). Psychological first aid sebagai pertolongan pertama korban pasca bencana: Sebuah studi naratif. Trends in Applied Sciences, Social Sciences, and Education, 1(1), 7–12. https://ejournal.pabki.org/index.php/TASE/article/view/7/7
Imansyah, M. (2023). Pemberdayaan masyarakat di pesisir pantai Kota Manado menghadapi ancaman bencana tsunami guna mewujudkan masyarakat tangguh bencana. Trends in Applied Sciences, Social Sciences, and Education, 1(1), 19–26. https://ejournal.pabki.org/index.php/TASE/article/view/9/9
Indonesia. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3796. Sekretariat Negara. Jakarta.
Indonesia. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723. Sekretariat Negara. Jakarta.
Siregar, J. S., & Wibowo, A. (2019). Upaya pengurangan risiko bencana pada kelompok rentan. Jurnal Dialog dan Penanggulangan Bencana, 10(1), 30–38. https://perpustakaan.bnpb.go.id/jurnal/index.php/JDPB/article/view/129
Suwarningsih, S., Nurwidiasmara, L., & Mujahidah, Z. (2019). Lansia dalam menghadapi bencana di Kota Bogor. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 11(2), 134–146. http://journal.thamrin.ac.id/index.php/jikmht/article/viewFile/78/77
Virgiani, B. N., Aeni, W. N., & Safitri, S. (2022). Pengaruh pelatihan siaga bencana dengan metode simulasi terhadap kesiapsiagaan menghadapi bencana. Bima Nursing Journal, 3(2), 156–163. https://doi.org/10.32807/bnj.v3i2.887