Penerjunan 101 feat. Tagana Repsigama

Kegiatan relawan dapat didefinisikan sebagai kegiatan tanpa imbalan yang umumnya dilakukan untuk kepentingan bersama. Salah satu hal penting dalam kerelawanan adalah keterlibatan secara sukarela, yang juga membedakannya dari jenis pekerjaan lainnya (Güntert et al., 2022). Dapat pula didefinisikan sebagai kegiatan membantu yang dipilih dengan sengaja, dilakukan dalam jangka waktu tertentu, tanpa mengharapkan imbalan atau kompensasi lainnya. Kegiatan ini sering kali melalui organisasi formal, dan dilakukan karena adanya penyebab atau individu membutuhkan bantuan (Snyder & Omoto, 2008 dalam Kragt & Holtrop, 2019). 

Februari lalu, terjadi banjir di kabupaten Demak, Jawa Tengah, yang disebabkan oleh jebolnya beberapa tanggul sungai. Tanggul jebol karena hujan di wilayah hulu serta debet air meningkat. Per 8 Februari 2024, sejumlah 63.465 jiwa terdampak banjir yang tersebar di 30 desa, 7 kecamatan. Sejumlah 8.170 warga menjadi pengungsi yang tersebar di balai desa, rumah ibadah, dan tempat umum (dilansir dari situs berita Kompas, 2024). 

Mengingat banyaknya akibat yang ditimbulkan oleh bencana banjir ini, tim Taruna Siaga Bencana (Tagana) Relawan Psikologi Gadjah Mada (REPSIGAMA), yang diwakili oleh Raisa dan Maol bersama tim dari Gelanggang Emergency Response (GER) UGM dan KAGAMA Care telah menuntaskan tugas mereka dan kembali ke Yogyakarta pada tanggal 2 Maret 2024. Selama berada di Demak, Raisa, Maol, dan para relawan mahasiswa UGM, bertanggung jawab dalam mendistribusikan air bersih untuk keperluan membersihkan rumah-rumah warga, memperbaiki sumur, dan menyediakan air minum di Dusun Wonorejo, Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak. 

Ketika melakukan penerjunan untuk membantu korban bencana banjir di Demak, mereka tentunya bertemu dengan sesama relawan yang datang dari berbagai wilayah. Sebagai relawan, terdapat beberapa keterampilan interpersonal yang dibutuhkan, di antaranya ialah keterampilan dalam berkomunikasi, mendengarkan secara aktif, merespon lawan bicara dengan baik, dan kemampuan untuk berempati. Raisa dan Maol dari tim Tagana REPSIGAMA saat diwawancarai pada Senin (29/4) mengungkapkan bahwa keterampilan untuk membangun rapport kepada sesama relawan yang baru dijumpai sangat penting agar terbentuk kedekatan yang kemudian akan memberikan kemudahan dalam melakukan koordinasi selama berada di sana. Tak jauh berbeda dengan hal tersebut, keterampilan dalam building rapport tersebut juga diperlukan saat berinteraksi dengan para korban bencana. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan dari korban kepada relawan. Sehingga, pada akhirnya para korban merasa aman dan dapat menyampaikan apa yang dibutuhkan kepada relawan. Kemudian, para relawan dapat menentukan akan memberikan bantuan apa yang sekiranya cocok dan dibutuhkan oleh para korban. Selain itu, kemampuan mendengarkan aktif juga turut berperan penting dalam membangun hubungan dengan masyarakat korban bencana tersebut. 

“Korban diajak mengobrol sambil dilihat ekspresinya, ketika topik obrolannya terkait bencana apakah mereka masih merasa trauma atau tidak. Jika masih merasa trauma, dapat dialihkan untuk membahas topik lain. Kemudian, pelan-pelan dapat ditanyai apa yang menjadi kebutuhannya saat ini. Sehingga, bisa diintervensi dengan memberikan bantuan yang cocok.” tutur Maol saat diwawancarai tentang bagaimana cara ia mendekatkan diri dengan warga korban bencana. 

Saat berinteraksi langsung dengan masyarakat, terdapat beberapa hal yang penting untuk diperhatikan, salah satunya untuk mencegah terjadinya ketergantungan korban bencana kepada relawan. Pengertian yang diberikan dari relawan kepada korban bencana menjadi poin yang krusial dalam menanggulangi munculnya ketergantungan. 

“Dikasih tahu kalau kami nantinya di sini tidak akan lama. Kemudian, juga dikasih pengertian kalau hanya bisa membantu sampai batas waktu tertentu untuk mencegah hal-hal yang membuat korban bergantung pada para relawan,” ungkap Raisa. Relawan hendaknya juga tidak menjanjikan sesuatu yang tidak bisa ditepati hanya untuk menghibur korban atau membuat perasaan korban menjadi lebih baik. 

“Jika menemui permintaan yang di luar ranah kita sebagai relawan, ada baiknya tidak langsung ditolak, tetapi tidak juga mengiyakan permintaan tersebut. Bisa disampaikan saja kalau nanti akan dikoordinasikan dahulu dengan teman-teman relawan yang lain,” ujar Maol. 

Sebelum terjun sebagai seorang relawan, tim Tagana REPSIGAMA telah melalui serangkaian pelatihan, termasuk pemahaman tentang Psychological First Aid (PFA). Maol dalam wawancara yang dilakukan pada Senin (29/4) mengakui bahwa dalam penerapannya, PFA tak jauh beda dari teori yang telah dipelajari sebelumnya. Namun, dalam menghadapi beberapa situasi di lapangan ternyata mengharuskan relawan untuk dapat lebih fleksibel serta adaptif setiap waktu. Lingkungan yang berbeda-beda pada setiap daerah bencana juga membentuk karakteristik masing-masing yang unik dan berbeda. Oleh karena itu, perlakuan yang dibutuhkan tentunya juga tidak sama pada tiap daerah bencana.

Penerjunan pertama bagi Raisa dan Maol ini meninggalkan kesan yang mendalam. Meskipun pada awalnya merasa takut dan ragu-ragu sebab ini kali pertamanya mereka terjun, ternyata dinamika bersama para relawan lain serta warga korban bencana di Demak menjadi pengalaman yang tak terlupakan. 

“Ada satu program kami untuk pengurasan sumur dengan alatnya yang dioperasikan oleh rekan-rekan relawan. Akan tetapi, terdapat satu kejadian ketika alat tersebut mendadak diambil oleh para warga untuk digunakan. Keadaan cukup panas, tetapi ketua lapangan dari relawan berhasil memberikan pengertian kepada warga kalau penggunaan alat tersebut sebaiknya dari para relawan saja supaya tetap terkondisikan,” ujar Raisa dengan bersemangat. 

“Salah satu rekan relawan kami ada yang meminum es teh yang cukup dingin saat cuaca sedang terik sekali. Tak terduga, keesokan harinya ia sakit. Dari situ saya sadar bahwa sebagai relawan kita juga sangat perlu menjaga kesehatan kita, apalagi dengan kegiatan yang cukup melelahkan tiap hari,” ungkap Maol yang menceritakan pengalaman uniknya. Sebagai penutup, Raisa serta Maol mengungkapkan bahwa mereka merasa senang karena dapat membantu warga korban bencana dan memberi secara maksimal apa yang mereka bisa beri. Mereka juga merasa bertumbuh menjadi orang yang lebih baik. Melihat warga yang meskipun terkena musibah banjir, tetapi tetap bisa tersenyum dan tertawa bersama, membuat mereka senantiasa bersyukur atas apa yang dimiliki saat ini.

 

Penulis: Aulia Nur Zahro, Kayla Diva Wullur

Editor: Anindya Chandrawimba

 

Referensi

Güntert, S. T., Wehner, T., & Mieg, H. A. (2022). Organizational, motivational, and cultural contexts of Volunteering. SpringerBriefs in Psychology. https://doi.org/10.1007/978-3-030-92817-9 

Kragt, D., & Holtrop, D. (2019). Volunteering Research in Australia: A narrative review. Australian Journal of Psychology, 71(4), 342–360. https://doi.org/10.1111/ajpy.12251 

Rusiana, D. A., & Zaidi, N. (2024). Banjir Kepung Demak, 8.170 Warga Mengungsi Halaman all. KOMPAS.com. https://regional.kompas.com/read/2024/02/09/061309378/banjir-kepung-demak-8170-warga-mengungsi?page=all

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.