Volunteering in a Monkeypox Outbreak Setting: Apa yang perlu dilakukan?

Warganet tanah air kembali waspada dengan penularan virus Monkeypox di Indonesia. Setelah konfirmasi kasus pertamanya pada Agustus 2022, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengumumkan bahwa telah tercatat 88 kasus Monkeypox di Indonesia per tanggal 18 Agustus 2024. Ngomong-ngomong tentang Monkeypox, apa sih sebenarnya Monkeypox itu?

Monkeypox adalah penyakit cacar yang ditandai dengan gejala demam, sakit kepala, nyeri otot, dan kelelahan. Berbeda dengan cacar air, Monkeypox menyebabkan pembengkakan pada kelenjar getah bening (Shuvo dkk., 2022). Lantas, apa yang membuat Monkeypox ini menyeramkan? Nah, infeksi Monkeypox dapat berkomplikasi dengan bronchopneumonia, dehidrasi, masalah pernapasan, encephalitis, hingga corneal scarring yang dapat berujung pada kehilangan penglihatan (Kaler dkk., 2022). Duh, seram sekali, ya!

Penularan virus Monkeypox ini tentu merupakan kegawatdaruratan yang perlu dihadapi bersama. Kata siapa relawan hanya membantu saat bencana alam? Krisis kesehatan seperti wabah Monkeypox sangat membutuhkan partisipasi aktif dari relawan untuk meningkatkan efektivitas tanggap darurat, edukasi publik, dan tentunya dukungan psikososial. Akan tetapi, relawan perlu memperhatikan sejumlah tantangan dan risiko yang mungkin timbul saat dan setelah memberikan pertolongan. Menjadi garda terdepan dalam pemberian bantuan membuat relawan berisiko tinggi pada penularan langsung dan juga adanya stigma masyarakat menjadi satu tantangan tersendiri bagi relawan. Keterbatasan sumber daya serta efek dari kelelahan mental dan fisik membuat relawan perlu menyusun strategi efektif sebelum melakukan penerjunan. Apa saja itu? Yuk, simak bareng-bareng!

Nah, seperti yang telah disinggung sebelumnya, relawan berisiko tertular Monkeypox melalui kontak langsung dengan individu terinfeksi. Penularan Monkeypox pada sesama manusia banyak terjadi melalui droplets (percikan atau lendir) pernapasan dan kontak langsung dengan luka pada mukokutan (kulit dan mukosa) sehingga social distancing sangat penting untuk dilakukan (Kaler dkk., 2022). Aktivitas yang tinggi bersama pengidap Monkeypox juga membuat relawan rentan terkena stigma. Mari mengingat kembali pandemi Covid-19 yang telah lalu, tenaga dan relawan kesehatan mengalami diskriminasi karena dianggap juga membawa penyakit dan dapat menularkannya kepada masyarakat sekitar. Stigma tersebut dapat berpengaruh pada kondisi mental tenaga dan relawan kesehatan yang membantu dalam situasi krisis (Zandifar dkk., 2020). Mengingat risiko kontak langsung yang tinggi—antara relawan dengan individu yang terinfeksi, dukungan berupa penyediaan alat pelindung diri (APD) dan fasilitas kesehatan lainnya wajib menjadi perhatian. Sayangnya, APD dan fasilitas kesehatan masih sulit didapatkan sehingga relawan harus mencari cara sendiri untuk melindungi diri mereka ketika bertugas dan membantu masyarakat. 

Eits,…… jangan lupa! Relawan juga rentan mengalami psychological distress dalam situasi krisis seperti wabah penyakit, lho! Berkaca kembali pada konteks pandemi Covid-19, semakin tinggi eksposur terhadap situasi krisis, contohnya menjadi rescuer atau ketua kelompok relawan, semakin tinggi pula level psychological distress-nya (Pino dkk., 2022). Sebelum melakukan penerjunan ke masyarakat, relawan perlu mendapatkan pemahaman tentang bagaimana menghadapi situasi yang tentunya akan melibatkan psikologis relawan dan cara untuk mengembalikan kondisi relawan seperti sediakala. Maka dari itu, amat penting bagi relawan untuk memiliki resiliensi dan coping mechanism yang baik. 

Lantas, apa saja strategi yang dapat relawan persiapkan untuk menerjang krisis kesehatan Monkeypox? Yuk, simak penjelasan berikut! 

Relawan dalam menghadapi krisis kesehatan Monkeypox dapat mempersiapkan beberapa strategi penting. Pertama, para relawan ini dapat fokus untuk melakukan edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat, termasuk memberikan kampanye tentang pemberian informasi tentang gejala, cara penularan, dan pencegahan Monkeypox. Relawan juga dapat dilatih untuk memberikan penanganan dasar, seperti cara mencuci tangan dengan benar dan melakukan social distancing guna mengurangi risiko penularan. Selain itu, penting untuk mempersiapkan logistik medis, seperti mendistribusikan alat pelindung diri (APD) dan menyediakan perlengkapan medis dasar, termasuk antiseptik dan obat-obatan. Relawan juga dapat membantu mendeteksi dan memantau kasus-kasus baru dengan mengidentifikasi gejala awal dan melaporkan temuan mereka kepada pihak berwenang. Di samping itu, penyediaan dukungan psikologis juga merupakan bagian penting dari strategi ini. Relawan bisa memberikan dukungan mental kepada mereka yang terisolasi karena terpapar Monkeypox, melalui komunikasi yang menenangkan untuk mengurangi kecemasan. Kerjasama dengan pihak kesehatan dan pemerintah juga krusial, termasuk dalam memastikan relawan bekerja sesuai dengan protokol resmi dan mendukung kampanye vaksinasi jika tersedia. Kesiapan logistik untuk menghadapi krisis jangka panjang juga perlu diperhatikan, seperti menyiapkan pasokan darurat dan rencana evakuasi atau karantina bagi yang terpapar. Terakhir, relawan juga harus terlibat dalam kampanye anti-stigma agar masyarakat tidak mengucilkan atau mendiskriminasi penderita Monkeypox. Dengan strategi-strategi tersebut, relawan dapat membantu mengurangi penyebaran penyakit, mendukung mereka yang terdampak, dan membantu menjaga solidaritas di tengah masyarakat selama krisis kesehatan Monkeypox.

Terdapat pula beberapa langkah preventif yang dapat dilakukan oleh relawan untuk mencegah penularan Monkeypox. Salah satunya adalah dengan memberikan edukasi yang tepat mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri, seperti rutin mencuci tangan dengan sabun dan air bersih, serta menghindari kontak langsung dengan orang yang terinfeksi. Relawan juga dapat membantu dalam penyediaan alat pelindung diri seperti masker dan sarung tangan, terutama di area yang berisiko tinggi. Selain itu, relawan perlu memastikan masyarakat memahami cara mendisinfeksi permukaan atau barang yang sering disentuh untuk mencegah penyebaran virus. Relawan juga bisa mempromosikan tindakan isolasi diri bagi mereka yang menunjukkan gejala, serta membantu memperkenalkan prosedur karantina yang sesuai untuk mencegah penularan lebih lanjut. Penerapan langkah-langkah ini sangat penting untuk membatasi penyebaran virus Monkeypox di tengah masyarakat.

Nah, peran relawan dalam menghadapi dan mencegah penularan Monkeypox sangat penting untuk melindungi masyarakat. Melalui edukasi, distribusi alat pelindung diri, pemantauan kasus, serta penyediaan dukungan psikologis, relawan dapat membantu menekan penyebaran virus dan memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh mereka yang terdampak. Langkah-langkah preventif seperti menjaga kebersihan diri, disinfeksi lingkungan, serta isolasi diri bagi yang bergejala juga harus diprioritaskan. Dengan penerapan strategi yang tepat dan kolaborasi dengan pihak kesehatan, relawan dapat berkontribusi signifikan dalam menangani krisis kesehatan Monkeypox secara efektif.

 

Penulis: Regia Zahra Humaira & Aulia Nur Zahro

Editor: Nahya Nazla Atsilah Priyadi

 

Referensi

Kaler, J., Hussain, A., Flores, G., Kheiri, S., Desrosiers, D. (2022). Monkeypox: A Comprehensive Review of Transmission, Pathogenesis, and Manifestation. https://doi.org/10.7759%2Fcureus.26531

Pino, O., Cunegatti, F. & D’Angelo, M. The Role of Life Meaning in Psychological Distress and Post-traumatic Growth Among Italian First-Aid Volunteers During the COVID-19 Outbreak. Trends in Psychol. 32, 624–646 (2024). https://doi.org/10.1007/s43076-022-00182-7

Recovering from mpox at home. (n.d.). https://www.who.int/multi-media/details/recovering-from-monkeypox-at-home?gad_source=1&gclid=Cj0KCQjw3bm3BhDJARIsAKnHoVWwbiT47eJD1sv6Ve0UH9UwZwh4GXGcR1RfGxspdaUq-YXnJUV13pMaAgDnEALw_wcB

Signs and symptoms of Mpox. (2024, September 12). Mpox. https://www.cdc.gov/mpox/signs-symptoms/index.html

Zandifar, A., Badrfam, R., Khonsari, N. M., Mohammadi, M. R., Asayesh, H., & Qorbani, M. (2020). Prevalence and associated factors of posttraumatic stress symptoms and stigma among health care workers in contact with COVID-19 patients. Iranian journal of psychiatry, 15(4), 340.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.